W3LC0Me yA UkHti Wa Akhi

WelCoMe Ya UKHti wa AkHi

Minggu, 30 Januari 2011

makalah perekonomian indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu Negara sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik internal (domestik) maupun eksternal (global). Faktor-faktor  internal, di antaranya adalah kondisi fisik (termasuk iklim), lokasi geografi, jumlah dan kualitas sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, sistem politik serta peran pemerintah didalam ekonomi. Sedangkan, faktor-faktor eksternal di antaranya adalah perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.
Akan tetapi, untuk dapat memahami sepenuhnya sifat proses dan pola pembanguanan ekonomi di suatu Negara serta kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya selama kurun waktu tertentu atau untuk memahami kenapa pengalaman suatu Negara dalam membangun ekonominya berbeda dengan Negara lain, maka perlu juga diketahui sejarah ekonomi dari Negara itu sendiri. Sering dikatakan bahwa keadaan perekonomian Negara-negara berkembang (LDCs), seperti Indonesia, India, dan Malaysia selama ini tidak lepas dari pengaruh sistem perekonomian atau orientasi pembangunan ekonomi yang diterapkan, pembangunan infrastruktur fisik dan sosial (seperti pendidikan dan kesehatan) yang dilakukan, dan tingkat pembangunan yang telah dicapai pada masa lampau, yakni pada zaman penjajahan (kolonialisasi).
Berangkat dari pengalaman Negara Singapura, Malaysia, dan Hongkong, mungkin dapat dikatakan bahwa yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan ‘warisan’ dari Negara penjajah, melainkan orientasi politik, sistem ekonomi serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintah yang  berkuasa setelah lenyapnya kolonialisasi, terutama pada tahun-tahun pertama setelah merdeka karena tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat kritis dan sangat menentukan kelanjutan pembangunan selanjutnya. Pengalaman Indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada zaman pemerintahan orde lama, rezim yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuatan militer dari pada kekuatan ekonomi. Ini semua menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi atau pembangunan praktis tidak ada.
  
1.2  Rumusan Masalah
1.      Jelaskan bagaimana sejarah ekonomi Indonesia mulai rezim Orde lama, orde baru, pemerintahan transisi, dan pemerintahan reformasi ?
2.      Sebutkn dan jelaskan sistem perekonomian di  Indonesia ?

1.3  Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi tugas kelompok, makalah ini juga bertujuan untuk :
1.      Mengetahui sejarah singkat perekonomian di Indonesia
2.      Mengetahui sistem perekonomian yang dipakai di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Ekonomi Indonesia
2.1.1 Pemerintahan Orde Lama
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda, yakni pada aksi Polisi I dan II. Setelah akhirnya pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 dari pemerintah Belanda sebagai hasil Konferensi Meja Bundar di Belanda (Den Haag) pada tanggal 23 Agustus 1949, selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatra dan Sulawesi. Akibatnya, selama pemerintahan orde lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sangat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata pertahun hampir 7% selama dekade 1950-an, dan mengalami stagflasi (stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti dengan tingkat inflasi yang tinggi) selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Sejak tahun 1958 selain laju pertumbuhan ekonomi terus menurun, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun. Selama Orde Lama, kegiatan produksi di sektor pertanian dan industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama. Pada masa pemerintahan Soekarno, selain manajemen moneter yang buruk, banyaknya rupiah yang dicetak disebabkan oleh kebutuhan pada saat itu untuk membiayai dua peperangan yakni merebut Irian Barat serta pertikaian dengan Malaysia dan Inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk membiayai penumpasan sejumlah pemberontakan di beberapa daerah di dalam negeri. Buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, perang dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim tersebut (Tambunan, 1991, 1996).
Kerangka analisis dari Dumairy (1996), periode Orde Lama atau sejak 1945 hingga 1965 dapat dibagi menjadi tiga periode:
·       Periode 1945-1950
·       Periode demokrasi parlemen/ periode demokrasi liberal (1950-1959)
·       Periode demokrasi terpimpin (1959-1965)
##Dalam periode demokrasi parlemen telah terjadi perubahan kabinet delapan (8) kali, serta kebijakan ekonomi yang dilakukan yaitu:
1.    Kabinet Hatta (Desember 1949-September 1950)èReformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gulden dan pemotongan uang sebasar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang di lakukan De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia.
2.    Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)èMerumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP).
3.    Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)èNasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda.
4.    Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)èMemperkenalkan konsep anggaran berimbang APBN, memperketat impor, melakukan rasionalisasi angkatan bersenjata melalui modernisasi dan pengurangan jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah.
5.    Kabinet Ali I (Agustus 1953-Juli 1955)èPembatasan impor dan kebijakan uang ketat.
6.    Kabinet Burhanuddin (Agustus 1955-Maret 1956)èLiberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan sistem ekonomi kolonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
7.    Kabinet Ali II (April 1956-Maret 1957)èMencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960. Kurang aktifnya  Kabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaan politik di dalam negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu merasa tidak puas dengan hasil pembangunan di tanah air.
8.    Kabinet Djuanda (Maret 1957-Agustus 1959)èKetidakstabilan politik di dalam negeri semakin membesar pada masa ini, sehingga perhatian sepenuhnya dialihkan dengan pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Kebijakan ekonomi juga hanya dilakukan pada pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Dilihat dari aspek politiknya selama periode orde lama, dapat dikatakan pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti demokrasi terpimpin. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi konflik antarpartai politik. Karena konflik politik berkepanjangan menyebabkan tidak adanya kesempatan membentuk suatu pemerintahan yang solid dan dapat bertahan. Terlihat dari kabinet-kabinet sebelumnya umur pemerintahannya hanya bertahan rata-rata satu tahun.
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan kolonoalisasi. Sektor formal/modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan pertanian komersial yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau PDB di dominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor.
Struktur ekonomi seperti digambarkan diatas, menurut Boeke (1954) disebut dual societies, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peraturan-peraturan atau undang-undang maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam ksempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk  asli dan orang-orang non pribumi/nonlokal.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruk dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sektor pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil (Allen dan Donnithorne, 1957).
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal dari periode ‘ekonomi terpimpin’. Sistem politik dan ekonomi pada masa orde lama, khususnya setelah ‘ekonomi terpimpin’ dicanangkan, semakin dekat dengan haluan/ pemikiran sosialis/ komunis. Walaupun ideologi indonesia adalah pancasila, pengaruh ideologi komunis dari Negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik yang berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimperialisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada saat itu, prinsip-prinsip individualisme, persaingan bebas, dan perusahaan swasta/ pribadi sangat ditentang karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dana dari Negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar (Hill, 1989). Hingga akhir tahun 1950-an, sumber utama penanaman modal asing di Indonsia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.
Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Orde Lama juga disebabkan oleh keterbatasan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/ ketrampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik.         
Menurut pengamatan Higgins (1957a, b), sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unifikasi, dan rekontruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekontruksi ekonomi Indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai komunis  Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu  perubahan politik yang drastis di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-undang dasar 1945 pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi Pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan Orde Baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di Amerika Serikat( AS) atau Negara-negara industri lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi.
2.1.2 Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde baru yang mana perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga dunia lainnya, seperti  Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada orde lama. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan penyusunan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh Negara-negara Barat. Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia(IGGI), yang terdiri atas sejumlah Negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Boleh dikatakan bahwa pada saat itu Indonesia sangat beruntung. Dalam waktu yang relatif pendek setelah melakukan perubahan sistem politiknya yang sangat drastis, dari yang ‘pro’ menjadi ‘anti’ komunis, Indonesia bisa mendapat bantuan dana dari pihak Barat. Pada saat itu memang Indonesia merupakan satu-satunya Negara yang sangat antikomunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan ekonominya yang kelihatan jelas di mata kelompok Negara Barat. Pada saat itu belum ada krisis utang luar negeri (ULN) dari kelompok LDCs, seperti pada tahun 1980-an, sehingga boleh dikatakan bahwa perhatian Bank Dunia pada saat itu dapat dipusatkan sepenuhnya kepada Indonesia.

Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran. Dengan kepercayaan yang penuh bahwa akan ada efek “cucuran kebawah”, pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di pulau Jawa, karena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relatif lebih baik dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Dengan sumber dana yang terbatas pada saat itu dirasa sangat sulit untuk memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan pada waktu yang bersamaan.
Pada bulan April 1969 Repelita I (Rencana pembangunan lima tahun pertama) dimulai dengan penekanan utama pada pembangunan sektor pertanian dan industri-industri yang terkait, seperti agroindustri. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada Repelita I terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat ekspor dan substitusi impor, industri-industri yang memproses bahan-bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri-industri yang padat karya, industri-industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga industri-industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas, dan tekstil.
Sebelum pembangunan dilanjutkan pada tahap berikutnya, yakni tinggal landas mengikuti pemikiran Rostow dalam stage of growth-nya, selain stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan yang menyeluruh pada tahap dasar,tujuan utama pelaksanaan Repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi swasembada, terutama dalam kebutuhan beras. Hal ini dianggap sangat penting, mengingat penduduk Indonesia sangat besar, dengan pertumbuhan rata-rata pertahun pada saat itu sekitar 2,5% dan stabilitas politik juga sangat tergantung pada kemampuan pemerintah menyediakan makanan pokok bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan tersebut, sektor pertanian nasional memasuki era modernisasi dengan penerapan teknologi baru, khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk, dan tata cara menanam.
Dampak repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata pertahun cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama Orde Lama , dan dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok LDCs. Pada awal Repelita I (1969), PDB Indonesia tercatat 2,7% triliun rupiah pada harga berlaku atau 4 triliun rupiah pada harga konstan. Pada tahun 1990 menjadi 188,5 triliun rupiah pada harga berlaku atau 112,4 triliun rupiah pada harga konstan. Selama periode 1969-1990, laju pertumbuhan PDB pada harga konstan rata-rata ertahun diatas 7%.
Perubahan ekonomi struktural juga sangat nyata selama orde baru bila dilihat dari perubahan pangsa PDB, terutama dari sektor industri. Persentase dari PDB yang berasal dari sektor industri manufaktur meningkat setiap tahun, dari sekitar 8% (atas dasar harga berlaku) atau 7,5% (atas dasar harga konstan) pada tahun 1960 menjadi 12% lebih (atas dasar harga berlaku) atau 15% lebih (atas dasar harga konstan) pada tahun 1983. Meningkatnya kontribusi output dari sektor industri manufaktur terhadap pembentukan/ pertumbuhan PDB selama periode orde baru mencerminkan adanya suatu proses industrialisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia,dari Negara agraris ke Negara semiindustri. Ini memang merupakan salah satu perbedaan yang nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim Orde Lama dengan rezim Orde Baru. Di dalam sektor industri manufaktur itu sendiri juga terjadi pendalaman struktural. Walaupun prosesnya relatif lambat dibandingkan dengan di Negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand dan Malaysia, tingkat diversifikasi produksi juga semakin besar dengan dibangunnya berbagai macam industri untuk kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Presiden suharto yang jauh lebih baik/solid dibanding pada masa Orde Lama dalam menyusun dan melaksanakan rencana, strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada periode krisis atau oil boom pertama pada tahun 1973/1974. selain minyak dan pinjaman luar negeri, peranan PMA khususnya sejak pertengahan dekade 1980-an terhadap proses pembangunan ekonomi di Indonesia semakin besar. Boleh dikatakan bahwa kebijakan Presiden Soeharto yang mengutamakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta pertumbuhan ekonomi terbuka membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek ekonomi Indonsia sangat besar dibandingkan dengan banyak LDCs lainnya.
Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat setelah sejak paruh pertama dekade 1980-an, pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi yang diawali di sektor moneter/perbankan dan di sektor riil, dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Dengan adanya deregulai-deregulasi tersebut, sistem perekonomian Indonesia secara bertahap mengalami pergeseran dari yang sangat tersentralisasi (pada periode 1970-an) menuju desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar.
Akan tetapi, pada tingkat makro dan mikro, pembangunan selama ini boleh dikatakan tidak terlalu berhasil, bahkan dalam banyak aspek semakin buruk. Jumlah kemiskinan baik absolut maupun relativ masih tinggi dan tingkat kesenjangan ekonomi semakin besar. Bahkan menjelang awal tahun 1990-an kesenjangan cenderung meningkat. Sebagai reaksi pemerintah terhadap kenyataan di atas, khususnya pada Repelita VI, orientasi kebijakan-kebijakannya mengalami perubahan dari penekanan hanya pada pertumbuhan ke pertumbuhan dengan pemerataan. Untuk mengurangi tingkat kesenjangan dan kemiskinan, pemerintah menjalankan berbagai macam program, terutama di daerah pedesaan seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera dan Program-program pembinaan usaha kecil.
Sebagai suatu rangkuman, sejak masa Orde Lama hingga berakhirnya masa Orde Baru dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami dua orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni dari ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada zaman rezim Soekarno ke ekonomi terbuka berorientasi kapitalis pada masa pemerintahan soeharto. Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada masa pemerintahan Orde Baru menjadi jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan Orde lama.


Pengalaman ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sbb :
1.    Kemauan politik yang kuat
2.    Stabilitas politik dan ekonomi
3.    Sumber daya manusia yang lebih baik
4.    Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
5.    Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997. 
 2.1.3. Pemerintahan Transisi
Sekitar tahun 1997 perekonomian Asia mengalami goncangan yang sangat hebat, hal ini karena banyaknya investor asing yang mengambil keputusan jual akibat tidak percaya terhadap prospek perekonomian negara. Indonesia termasuk negara yang mengalami goncangan yang hebat.
                   Rupiah indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650 perdolar AS. Sejak saat itu mata uang Indonesia menjadi tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu maka BI melakukan intervensi namun pengaruhnya tidak besar, nilai rupiah dalam dolar terus tertekan hingga pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah yakni Rp 2.682 perdolar AS sebelum akhirnya ditutup pada Rp 2.655 perdolar AS.
       Intervensi yang dilakukan BI pertama-tama yaitu memperluas rentang intervensi rupiah dari 8% menjadi 12%. Namun akhirnya menyerah dengan melepas intervensinya, dan pada hari yang sama rupiah anjlok ke Rp 2.755 perdolar AS. Hari-hari berikutnya rupiah terus melemah. Pada bulan maret 1998 rupiah mencapai Rp 10.550 per dolar AS, walaupun sebelumnya antara bulan Januari-Februari rupiah sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS.
       Nilai tukar rupiah yang terus melemah telah menggoncang perekonomian nasional, sehingga pemerintahan orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya membatasi anggaran belanja negara.
       Pada mulanya Indonesia berusaha menangani masalah rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Namun setelah memahami bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat di bendung  dengan kekuatan sendiri, maka pada tanggal 8 Oktober 1997 Indonesia secara resmi menyatakan akan meminta bantuan keuangan dari IMF.
       Pada bulan Oktober 1997 IMF memberikan bantuan keuangan yang mencapai 40 milliar dolar AS. Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang di tentukan IMF maka Indonesia mencabut izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Pada bulan November IMF telah mengucurkan dananya senilai 3 miliar dolar AS, namun rupiah tetap saja melemah mencapai Rp 15.000 per dolar AS. Hal ini menyebabkan kepercayaan masyarakat terus merosot sehingga kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januari 1998. Nota kesepakatan itu berisi tentang kebijakan-kebijakan baik fiskal maupun moneter, restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural.
       Indonesia ternyata tidak melaksanakan program reformasi sesuai dengan kesepakatan sehingga kucuran dana kedua senilai 3 milliar dolar AS diundur, padahal Indonesia sangat membutuhkan dana tersebut, terutama karena krisis di Indonesia telah menjadi krisis kepercayaan dan Indonesia sangat membutuhkan dolar AS.
       Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan yang pertama, dilakukan lagi perundinga baru pada bulan Maret 1998 dan dicapai kesepakatan pada bulan April 1998. Secara keseluruhan ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini dalam melengkapi kesepakatan sebelumnya. Memorandum tersebut yaitu :
1.    Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi

2.    Restrukturisasi perbankan, dengan tujuan utama dalam rangka penyehatan sistem perbankan nasional
3.    Reformasi struktural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998)
4.    Penyelesaian ULN swasta (corporate debt).
5.    Bantuan untuk rakya kecil (kelompok ekonomi lemah)
                   Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF telah di buat memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan.
                   Krisis rupiah di Indonesia yang menjelma menjadi krisis ekonomi akhirnya juga memunculkan krisis politik yang di awali dengan penembakan 4 mahasiswa trisakti oleh tentara yang di kenal dengan  Tragedi Trisakti. Mahasiswa dari puluhan universitas dari Jakarta dan luar Jakarta  berhasil menduduki  gedung DPR yang kemudian menghasilkan mundurnya soeharto dari kepemimpinannya yang kemudian digantikan oleh B.J.Habibie. Presiden Habibie kemudian  membentuk kabinet baru yang menjadi awal terbentuknya pemerintahan transisi.
2.1.4    Pemerintahan Reformasi
                   Pada bulan Oktober 1999 dilakukan pemilihan presiden yang dilakukan pada 20 Oktober 1999 yang di menangkan oleh K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati sebagai wakil presiden. Pada tanggal itu telah menjadi akhir dari pemerintahan transisi dan menjadi awal pemerintahan baru yang sering di sebut sebagai pemerintahan reformasi.
                   Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999), kondisi perekonomian mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial dan membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Sikap Gus Dur tersebut menimbulkan perseteruan dengan DPR yang akhirnya di keluarkannya memorandum I dan II yang membuat kedudukan Gus Dur sebagai presiden terancam.
                   Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dengan IMF juga tidak baik karena masalah-masalah seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah dalam melakukan pinjaman keluar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Karena hal tersebut IMF mengundur pencairan bantuan untuk Indonesia. Bahkan negara-negara pendonor menyatakan Indonesia bangkrut karena perekonomian yang buruk akan membuat Indonesia tidak mampu membayar hutang-hutangnya.
                   Selanjutnya banyak kebijakan pemerintah yang kontroversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% ( nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya “sense of crisis” terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
                   Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren  pertumbuhan ekonomi yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga  lebih dari 300 point yang di sebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan dari pada pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
                   Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah. Bahkan nilai tukar rupiah pernah mencapai Rp 12.000 perdolar AS yaitu saat istana presiden dikepung demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur dari kedudukannya sebagai presiden. Krisis ini terus berlanjut yang bisa membawa Indonesia ke dalam krisis ekonomi yang lebih buruk dari krisis yang pertama.

2.2    Sistem Ekonomi Indonesia
2.2.1 Pengertian-Pengertian Sistem Ekonomi
Banyak pendapat yang memberikan pengertian mengenai apa sebenarnya yang diartikan dengan system ekonomi. Menurut Dumairy (1996), system ekonomi adalah suatu system yang mengatur serta menjalani hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Sementara, Sheridan (1998) sistem ekonomi adalah cara manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memeneuhi kebutuhan atau memberikan kepuasan pribadinya.
Sanusi (2000) sistem ekonomi merupakan suatu organisasi yang terdiri atas sejumlah lembaga atau pranata (ekonomi, sosial-politik, ide-ide) yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya yang ditunjukkan kearah pemecahan problem dasar setiap perekonomian.
Dalam Sanusi disebut ada tujuh elemen penting dari sistem ekonomi, yakni:
1.      Lembaga-lembaga / pranata-pranata ekonomi;
2.      Sumber daya ekonomi;
3.      Faktor-faktor produksi;
4.      Lingkungan ekonomi;
5.      Organisasi dan manajemen;
6.      Motivasi dan perilaku pengambilan keputusan atau pemain dalam sistem ekonomi itu;
7.      Proses pengambilan keputusan.
2.2.2   Sistem-Sistem Ekonomi
Menurut Sanusi (2000), perbedaan antara sistem ekonomi satu dengan yang lainnya terlihat dari ciri-cirinya, yakni:
1)   Kebebasan konsumen dalam memilih barang atau jasa yang dibutuhkan;
2)   Kebebasan masyarakat memilih lapangan kerja;
3)   Pengaturan pemilihan / pemakaina alat-alat produksi;
4)   Pemilihan usaha yang dimanifestasikan dalam tanggung jawab manajer;
5)   Pengaturan atas keuntungan usaha yang diperoleh;
6)   Pengaturan motivasi usaha;
7)   Pembentukan harta barang konsumsi dan produksi;
8)   Penentuan pertumbuhan ekonomi;
9)   Pengendalian stabilitas ekonomi;
10)    Pengambilan Keputusan;
11)    Pelaksaan pemerataan kesejahteraan.
##Secara umum ada 3 macam sistem ekonomi yang dikenal dunia, yakni:
a)      sistem ekonomi liberal / kapitalis;
b)      sistem ekonomi sosialis;
c)      sistem ekonomi campuran.
Ketiga sistem ini akan diuraikan secara garis besar berdasarkan penjelasan dalam Sanusi (2000).[1]
a)      Sistem Ekonomi Kapitalis
Pendapat  Sanusi, sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi di mana kekayaan yang produktif terutama dimiliki secara pribadi dan produksi terutama untuk dijual. Adapun tujuan kepemilikan secara pribadi yakni ntuk memperoleh suatu keuntungan / laba yang cukup besar, bersama-sama dengan lembaga warisan serta dipupuk oleh hukum perjanjian sebagai mesin kapitalisme yang besar. (hal. 31)
Ada enam (6) asas yang dapat dilihat sebagai ciri dari sistem ekonomi kapitalis yakni sebagai berikut:
1.    Hak milik pribadi.
2.    Kebebasan berusaha dan kebebasan memilih.
3.    Motif kepentingan diri sendiri.
4.    Persaingan.
5.    Harga ditentukan oleh mekanisme pasar.
6.    Peranan terbatas pemerintah.
Dumairy (1996) mendefisinikan sistem ekonomi kapitalis dilihat dari terminologi teori ekonomi mikro. Menurutnya, sistem ekonomi kapitalis adalah suatu system ekonomi yang menyadarkan diri sepenuhnya pada mekanisme pasar, prinsip persaingan bebas, meyakini kemampuan dalam menuju efisien ekonomi. Mekanisme pasarlah (kekuatan permintaan dan penawaran) yang akan menetukan secara efisien ketiga pokok persoalan ekonomi.
b). Sistem Ekonomi Sosialis
Seperti yang dijelaskan Dumairy (1996), sistem ekonomi sosialis adalah kebalikan dari sistem ekonomi kapitalis. Bagi kalangan sosialis, pasar harus justru dikendalikan melalui perencanaan terpusat. Satu hal yang penting untuk dicatat berkenaan dengan system ekonomi sosialis adalah bahwa system ini bukanlah sistem ekonomi yang tidak memandang penting peranan kapital. (hal 32)
Sistem ekonomi sosialis dapat dibagi dalam dua subsistem, yakni sistem ekonomi sosialis dari Marxis, dan sistem ekonomi sosialisme demokrat.
Sistem ekonomi sosialis Marxis juga disebut juga sistem ekonomi komando, di mana seluruh unit ekonomi, baik sebagai produsen, konsumen, maupun pekerja, tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan secara sendiri-sendiri yang menyimpang dari komando otoritas tertinggi, yakni partai. Pada sistem ekonomi sosialis Marxis, ruang gerak bagi pelaku-pelaku ekonomi untuk mengambil inisiatif sendiri dapat dikatakan tidak ada sama sekali.
                   Dalam sistem ekonomi sosialisme demokrat, disatu pihak ada kebebasan individu seperti dalam sistem ekonomi kapitalis, misalnya produsen bebas memilih jenis dan banyak produksi yang akan dibuat, konsumen bebas memilih barang mana yang dikehendaki, dan pekerja bebas menentukan jenis pekerjaan apa yang diinginkannya. Namun, dipihak lain, berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, dalam sistem ekonomi sosialisme demokrat, peran pemerintah lebih besar.
            Perbedaan lainnya yang sangat nyata antara sistem ekonomi sosialisme demokrat atau sistem ekonomi pasar sosial (SEPS) dengan sistem ekonomi kapitalis adalah aspek sosialnya. Seperti yang dapat dikutip dalam Mubyarto (2000), ada dua aspek sosial yang sangat penting dari SEPS, yakni peningkatan standar hidup kelompok berpendapatan terendah dan perlindungan terhadap semua warga masyarakat dari kesulitan hidup serta masalah-masalah sosial lain akibat dari resiko-resiko kesulitan hidup. Selanjutnya, seperti yang dijelaskan dalam Mubyarto (2000), pembagian pandapatan yang adil dalam SEPS dijaga dengan cara memberi perhatian pada tingkat dan pertumbuhan upah, sistem perpajakan, stabilitas harga, persamaan peluang (bekerja dan berusaha) bagi warga masyarakat, dan adanya asuransi sosial minimal, yakni asuransi pengangguran, hari tua, kesehatan, dan kecelakaan.
       c) Sistem Ekonomi Campuran 
Sedangkan sistem ekonomi campuran adalah sistem yang mengandung beberapa elemen dari sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis.
Sanusi (2000), menjelaskan sistem ekonomi campuran sebagai berikut. Dalam sistem ekonomi campuran di mana kekuasaan serta kebebasan berjalan secara bersamaan walau dalam kadar yang berbeda-beda. Ada sistem ekonomi campuran yang mendekati sistem kapitalis/liberalis karena kadar kebebasan yang relatif besar atau persentase dari sistem kapitalisnya sangat besar. Ada pula sistem ekonomi campuran yang mendekati sistem ekonomi sosialis dimana peran kekuasaan pemerintah relatif besar terutama dalam menjalankan berbagai kebijakan ekonomi, moneter/ fiskal, dan lain-lain.
Didalam sistem ekonomi campuran adanya campur tangan pemerintah terutama untuk mengendalikan kehidupan/pertumbuhan ekonomi, mencegah adanya konsentrasi yang terlalu besar ditangan satu orang atau kelompok swasta juga untuk melakukan stabilisasi perekonomian, mengatur tata tertib serta membantu golongan ekonomi lemah (hal 57).
2.2.3   Sistem Ekonomi Indonesia
            Sistem ekonomi apa yang diterapkan di Indonesia, kapitalisme, sosialisme, atau gabungan dari kedua sistem tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini, Dumairy (1996) menegaskan sebagai berikut. Ditinjau berdasarkan sistem pemilikan sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan untuk menyatakan bahwa sistem ekonomi kita adalah kapitalis. Sama halanya, tak pula cukup argument untuk mengatakan bahwa kita menganut sistem ekonomi sosialis, Indonesia mengakui pemilikan individual atau faktor-faktor produksi, kecuali untuk sumber daya. Sumber daya yang mengakui hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara. Hal ini diatur tegas oleh Pasal 33 UUD 1945. Jadi, secara konstitusional, sistem ekonomi Indonesia bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme (hal. 33).
            Berdasarkan penjelasan diatas, maka jelas bahwa untuk memahami sistem ekonomi apakah yang diterapkan di Indonesia, paling tidak secara konstitutional (mungkin dalam praktek sehari-harinya sangat berbeda), perlu dipahami terlebih dahulu ideologi apa yang dianut Indonesia. Dalam kata lain, kehidupan perekonomian atau sistem ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari prinsip-prinsip dasar dari pembentukan Republik Indonesia yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Seperti yang dijelaskan Sanusi (2000) sebagai berikut. Sistem ekonomi Indonesia yang termasuk sistem ekonomi campuran itu disesuaikan terutama dengan UUD 1945 sebelum diamandemen tahun 2000 yakni sistem ekonomi Pancasila dan ekonomi dengan menitikberatkan pada koperasi terutama pada masa Orde Lama sebelum tahun 1996 dan hingga kini masih berkembang. Dalam masa pemerintahan Indonesia Baru (1999) setelah berjalannya masa reformasi muncul pula istilah ekonomi kerakyatan. Tetapi ini pun belum banyak dikenal, karena hingga kini yang masih banyak dikenal masyarakat adalah sistem ekonomi campuran yakni sistem ekonomi Pancasila, disamping ekonomi yang menitikberatkan kepada peran koperasi dalam perekonomian Indonesia (hal. 55).
Isi Pembukaan UUD 1945 menyatakan antara lain bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.[2] Adapun arti keadilan sosial sebagai sila kelima Pancasila adalah sebagai berikut. Sila keadilan sosial menghendaki adanya kemakmuran yang merata diantara seluruh rakyat, bukan merata yang statis, melainkan merata yang dinamis dan meningkat. Artinya, seluruh kekayaan alam Indonesia, seluruh potensi bangsa, diolah bersama-sama menurut kemampuan dan bidang masing-masing, untuk kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat. Keadilan sosial berarti harus melindungi yang lemah; hal ini bukan berarti yang lemah lalu boleh tidak bekerja menurut kemampuan dan bidangnya. Perlindungan yang diberikan adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan dari yang kuat, untuk menjamin adanya keadilan. Melaksanakan keadilan sosial tidak lain adalah dengan serta merta dinikmati oleh seluruh rakyat. Ini antaralain berarti bahwa segala bentuk kepincangan sosial dan kepincangan dalam pembagian kerakyatan nasional kita harus ditiadakan. (Djamin, 1993, hal. 6).[3]    
Arti keadilan sosial sebagaimana diutarakan di atas mengandung dua makna penting. Pertama, prinsip pertumbuhan ekonomi dan pembagian pendapat yang adil. Pentingnya pertumbuhan ekonomi tercemin pada kalimat berikut. “Sila keadilan sosial menghendaki adanya kemakmuran yang merata di antara seluruh rakyat; bukan merata yang statis, melainkan merata yang dinamis dan meningkat”. Sedangkan distribusi pendapatan yang adil tercemin pada kalimat berikut. “Segala bentuk kepincangan sosial dan kepincangan dalam pembagian kekayaan nasional kita harus ditiadakan”. Kedua, prinsip demokrat ekonomi yang dinyatakan dalam kalimat berikut. “Seluruh kekayaan alam Indonesia, seluruh potensi bangsa diolah bersama-sama menurut kemampuan dan bidang masing-masing, untuk kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat”. (Djamin, 1993)
            Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa ada tiga asas penting yang mendasari Pancasila dan UUD 1945 (sebelum diamandemen pada tahun 2000) yang membentuk sistem ekonomi Indonesia, yakni kemanusiaan, persaudaraan dan gotong royong. Penekanan dari asas tersebut adalah pada kehidupan individu dan masyarakat dalam keseimbangan dan keselarasan yang diatur dalam TAP MPR No.II / MPR / 1978 sebagai berikut. Pancasila yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhan-Nya maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah (Sanusi, 2000, hal. 58).[4]
     Ketentuan-ketentuan dasar konstitusional mengenai kehidupan ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (sebelum diamademen), antara lain tercantum dalam pasal-pasal 27, 33, dan 34 UUD 1945. Pasal 33 dianggap sebagai pasal terpenting (yang belum diamademen) yang mengatur langsung sistem ekonomi Indonesia, yakni prinsip demokrasi ekonomi. Secara rinci, pasal 33 menetapkan tiga hal:
1.        Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan;
2.        Cabang-cabang produksi yang penting dalam Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara;
3.        Bumi dan air kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan pasal 27 ayat 2 menetapkan bahwa setiap warga negara (WNI) berhak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak; dan pasal 34 menetapkan bahwa kaum masyarakat miskin dan anak-anak terlantar dipelihara nagara. 
Sebagai kesimpulan, perbedaan antara sistem ekonomi kapitalisme atau sistem ekonomi sosialisme dengan sistem ekonomi yang dianut oleh Indonesia adalah pada kedua makna yang terkandung dalam keadilan sosial yang merupakan sila kelima Pancasila, yakni prinsip pembagian pendapatan yang adil (dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi) dan prinsip demokrasi ekonomi. Kedua prinsip ini sebenarnya yang merupakan pencerminan sistem ekonomi Pancasila, yang jelas-jelas menentang sistem individualisme liberal atau free fight liberalism (sistem ekonomi kapitalis ekstrem), dan sistem komando (sistem ekonomi sosialsme ekstrem). 
BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Sejarah ekonomi Indonesia mencatat adanya lima periode dalam masa pemerintahan, yakni mulai pemerintahan orde lama, pemerintahan orde baru, pemerintahan Gus Dur, pemerintahan Megawati (2001- sekarang), dalam pembangunan ekonomi setiap masa pemerintahan ada yang berhasil dan tidak, namun sejak rezim orde Baru telah mengalami keberhasilan yang cukup pesat karena pada saat itu Presiden Soeharto telah melakukan perbaikan-perbaikan dalam bidang ekonomi dan sosial. Dalam sistem ekonomi di Indonesia ada 3 tipe sistem yang dipakai yaitu sistem ekonomi liberal / kapitalis, sistem ekonomi sosialis, sistem ekonomi campuran yangmana ketiganya memiliki spesifikasi khusus dalam penerapan di Indonesia. Yang biasa dipakai di Indonesia adalah sistem ekonomi campuran, karena jelas-jelas dalam penerapannya mengandung dasar Pancasila dan UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Tambunan, TH. Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting. Jakarta : Ghalia Indonesia.











     





[1] Untuk pembahasan lebih luas, lihat Sanusi (2000)
[2] di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mengatur arah dan strategi pembangunan nasional, tujuan nasioanal tersebut diwujudkan secara bertahap melalui tahapan pembangunan nasioanal, yang selanjutnya dijabarkan dalam langkah-langkah konkret dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita) atau setelah reformasi, dalam program pembangunan nasioanal (Propenas). Kemudian demi tercapainya setiap tahap pembangunan  (Repelita) tersebut, maka setiap kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan harus berdasarkan kepada Trilogi Pembangunan yang mengandung unsure pokok yang mencerminkantiga segi permasalahan dalam pembangunan nasional, yakni pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasioanal (Djamin, 1993, Djojohadikusumo, 1985)

[3] Di kutip oleh Djamin dari pidato Presiden Soeharto, yakni pada saat peringatan hari Pancasila tanggal 1 Juni 1967 dan perayaan Dies Natalis Universitas Indonesia tanggal 15 Februari 1975
[4] Di dalam Ketetapan MPR No.II / MPR / 1978 dinyatakan bahwa Pancasial merupakan jiwa, kepribadian, serta pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila merupakan dasar dan ideology Negara Republik Indonesia. Oleh karenanya, Pancasila harus menjadi penuntun dan pegangan hidup bagi warga Negara Indonesia  (WNI) dalam system kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Sedangkan di dalam TAP MPR No.II / MPR / 1983, Pancasila yang dinyatakan sebagai satu-satunya asas berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara mengandung impilikasi bahwa pembangunan nasional (ekonomi, social, politik, dan lain-lain).
                Juga merupakan proses transformasi kea rah masyarakat Pancasila. Dalam bidang ekonomi, implikasinya adalah bahwa pembangunan ekonomi nasional juga sekaligus merupakan upaya agar nilai yang dikandung dalam kelima sila Pancasila tercemin dalam praktik-praktik kehidupan perekonomian sehari-hari. Artinya, Pancasila harus dapat tercemin pada berbagai jenis lembaga ekonomi serta proses pengambilan keputusan yang ada did lam tat susunan organisasiekonominya, pada nilai dan norma-norma idealnya dan pada mekanisme kerja serta aturan permainan yang mengikat lembanga ekonomi yang ada dalam system kehidupan nasional bangsa Indonesia (Sanusi, 2000)